Sunday, April 17, 2005

Lain Padang Lain Belalang, Lain Lubuk Lain Ikannya (Wisata Kata)

"Ladies and gentlemen, pembicara yang segera akan tampil ke hadapan Anda ini mempunyai banyak nama. Ada yang menyebutnya Mr. Hyuj atau tuan raksasa,Mr. Hag atau si tukang peluk, Mr. Hages atau Mr. Huges yang entah apa artinya, dan ada pula yang menyapanya Mr. Hyujes dengan nada tanya, seakan tidak yakin apakah sapaan itu benar."

 Kalimat pembuka di atas diucapkan Linda Sivesind, moderator sidang dalam Kongres FIT (Perhimpunan Penerjemah Internasional) 1996 di Melbourne. Linda bertugas memperkenalkan Mr. Aneurin Hughes, seorang tokoh terkemuka dari Uni Eropa.

Sang moderator kemudian melanjutkan kalimat pembukanya dengan menceritakan sebuah kisah: "Lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, Hughes muda, seorang mahasiswa berkantung kempes, sedang kebingungan mencari tempat menginap di Oslo, Norwegia. Karena tidak mempunyai cukup uang untuk menyewa kamar di losmen termurah sekalipun, pemuda Hughes kemudian membaringkan diri di sebuah bangku taman di luar pagar istana kerajaan. Menjelang subuh, dia dibangunkan dan diusir oleh satpam istana ... Waktu pun terus bergulir, musim dan tahun terus berganti ... Hughes muda kini telah menjadi orang, dan menduduki jabatan penting di Uni Eropa. Ketika berkesempatan memenuhi undangan sebuah acara resmi di istana, beliau menceritakan pengalamannya itu kepada tuan rumah, Raja Norwegia. Sang raja tersenyum, lalu berkata: "Mr. Hughes, sekarang Anda boleh menginap, kapan saja Anda kehendaki, di bangku mana saja di halaman istana saya, dan saya jamin satpam saya tidak akan mengusir Anda lagi .…"

Di tengah gemuruhnya tawa dan tepuk tangan hadirin, Linda yang cantik mempersilakan Mr. Hughes tampil ke pentas. Dengan humor yang sama segarnya, Mr. Hughes mengomentari sang moderator beberapa saat, kemudian mulai mengantarkan makalahnya.

Kisah seperti di atas sering terdengar dalam berbagai seminar di mancanegara. Suasana pembukaan sidang terkesan santai, tanpa berkurang bobot keseriusannya. Tidak ada sapaan bertele-tele, tidak ada basa-basi – semua bersifat langsung, dan sering kali malah ceria, khususnya ketika moderator memperkenalkan pembicara.

Memang, sebagaimana kata pepatah, "Kepala sama berbulu, pendapat berlain-lainan". Ada panitia yang suka dengan gaya agak santai seperti Linda Sivesind, tetapi ada juga yang bersikap serba resmi. Ini semua tampaknya berkaitan dengan budaya atau adat suatu bangsa atau masyarakat. Di negara kita, misalnya, panitia seminar sering kebingungan menentukan kata sapaan yang tepat untuk sejumlah pejabat atau tamu kehormatan yang hadir – siapa yang harus disebut pertama dan siapa yang terakhir, apa gelar akademik sang tamu, apa pangkatnya, apa kedudukannya, dan sebagainya. Ada kalanya, sapaan basa-basi ini berlangsung cukup lama dan menjemukan. Namun, itulah kebiasaan kita, yang tampaknya akan tetap bertahan cukup lama di masa mendatang.

Yang berusaha, yang amat berusaha

Anda mungkin terperangah bila disapa sebagai "Yang Berusaha, Tuan Anu". Tetapi, itulah salah satu sapaan yang pernah terdengar dalam seminar di negara jiran, Malaysia. Karena penasaran, penulis bertanya kepada teman yang orang Malaysia mengenai sopan-santun dalam hal sapa-menyapa ini.

Keterangannya sungguh mencengangkan. Menurut pakar sosio-linguistik ini, ada sekitar 20 kata sapaan yang biasa digunakan di Malaysia. Yang paling sopan tentu saja sapaan "Duli Yang Maha Mulia Sultan Yang Dipertuan Agong". Di bawahnya ada "Duli Yang Teramat Mulia", "Duli Yang Amat Mulia", dan "Duli Yang Mulia". Setelah itu, ada sapaan "Yang Terutama", "Yang Berhormat", dan "Yang Berusaha", yang juga terdiri atas beberapa tingkat. Dapat dibayangkan betapa bingungnya panitia dan betapa panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan acara sapa-menyapa ini jika banyak tamu kehormatan yang hadir dengan berbagai jenjang kedudukan.

Peribahasa atau kata mutiara

Sudah menjadi kebiasaan sementara orang untuk menyisipkan peribahasa, kata mutiara, ucapan orang bijak, atau bahkan puisi dalam pidato mereka. Salah satu yang paling terkenal adalah ucapan Presiden John F Kennedy pada pidato pelantikannya: "My fellow Americans, ask not what your country can do for you – ask what you can do for your country". Ucapan yang kini tertatah pada batu pualam di kompleks makam Presiden AS ke-35 ini sering dikutip banyak orang di seluruh dunia.

Meskipun tidak terlalu sering, kebiasaan menyisipkan kata bijak ini juga tampak di Indonesia dan Malaysia. Yang paling sering dikutip pada akhir sebuah acara adalah: "Bila ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi; bila ada umur panjang, boleh kita berjumpa lagi."

Bahkan, di Malaysia, ungkapan tertulis lazim pula digunakan untuk mengakhiri surat. Ungkapan "Cintai Bahasa Kita" sering mengakhiri surat dari Dewan Bahasa dan Pustaka, lembaga yang berperan memajukan bahasa nasional Malaysia. Ungkapan "Ke Arah Pembentukan Industri Terjemahan Di Malaysia" tertulis di akhir sebuah surat dari ITNM (Institut Terjemahan Negara Malaysia Berhad). Kebiasaan manis ini tampaknya belum membudaya di Indonesia, meskipun tidak ada salahnya ditiru karena kita pun kaya akan peribahasa yang menarik untuk diperkenalkan.

Belakangan ini, kata mutiara pun sering menyemarakkan jatidiri seseorang di Internet, yang dikenal sebagai signature karena fungsinya memang mirip dengan tanda tangan, yang sudah lazim kita kenal. Dalam signature di dunia elektronik ini, banyak orang yang selain mencantumkan nama, alamat (pos, fax, e-mail), dan profesinya (misalnya penerjemah bahasa tertentu), juga menambahkan gambar unik atau kata mutiara. Ini hal yang menarik karena kata mutiara pilihan seseorang secara tidak langsung menunjukkan motto hidup pemilihnya. Misalnya, anggota Greenpeace dapat dipastikan mencantumkan kata mutiara yang berhubungan dengan perdamaian dan kelestarian lingkungan.

Miss, Mrs, Ms

Membicarakan bahasa dalam kaitannya dengan kebudayaan suatu bangsa selalu menarik karena setiap kebudayaan memang unik. Dalam penerjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia (BI) sering terdengar tuduhan tentang betapa miskinnya kosakata BI, walaupun sebenarnya si penerjemahlah yang miskin kosakatanya. Buktinya, saya yakin sebagian besar orang Indonesia, yang terpelajar sekalipun, tidak mengenal makna kata "cahi, terok, kakagau" meskipun ketiga kata tersebut ada dalam KBBI. Ketiganya dapat digunakan sebagai padanan kata Inggris "brother, sample, verdict". Tetapi, seandainya pun kita mengenal ketiga kata Indonesia itu, belum tentu kita mau menggunakannya dalam terjemahan dengan dalih "tidak komunikatif".

Marilah sekarang kita kembali ke masalah kata sapaan. Ketika belajar bahasa Inggris, kita diajari tiga kata sapaan, yaitu Mr untuk pria, Miss untuk nona, dan Mrs untuk nyonya. Sekarang dikenal kata sapaan baru yang netral bagi kaum wanita, yaitu Ms, yang tidak membedakan apakah wanita yang disapa itu belum atau sudah menikah. Sapaan Ms sekarang lebih sering digunakan dan boleh dikatakan jauh lebih populer daripada Miss dan Mrs. Langkah perubahan ini diambil karena kaum wanita tidak mau dibedakan apakah dia sudah atau belum menikah. Sapaan Mr juga tidak menunjukkan status perkawinan si pria yang disapa, bukan?

Tetapi, perubahan ternyata tidak berhenti hanya sampai pada kata sapaan. Penulis pernah terheran-heran ketika membaca tulisan tentang sekelompok wanita di Amerika yang ingin mengubah kata Inggris history menjadi herstory. Kata history, yang konon gabungan dua kata "his" dan "story", dipandang meremehkan kaum wanita! Tetapi, berbeda dengan kata Ms, kata herstory tampaknya tidak lama gaungnya dan bahkan mungkin tidak pernah hidup.

Gerakan "emansipasi" ini ternyata semakin merebak, menyentuh berbagai bidang. Dalam kamus Random House Webster's College Dictionary terbitan 1992 ada tulisan yang khusus membahas kata-kata jantina (sex). Dikemukakan bahwa dewasa ini pilihan kata perlu dicermati karena dikhawatirkan bisa menyinggung perasaan orang, khususnya kaum wanita. Kita tahu, cukup banyak kata Inggris berakhiran "man", padahal sekarang banyak wanita pekerja yang menyandang makna kata yang berakhiran "man" tersebut. Misalnya, kata businessman dianggap tidak adil karena bukankah cukup banyak wanita yang juga menggeluti dunia bisnis. Maka, kata businessman dianjurkan tidak digunakan; sebagai gantinya diusulkan pemakaian kata business person, business executive, atau manager.

Contoh lainnya cukup banyak, misalnya kata man-made yang dianjurkan diganti menjadi artificial atau synthetic, fireman menjadi firefighter, chairman menjadi chairperson, cameraman menjadi camera operator atau cinematographer, mailman dan postman menjadi mail carrier atau letter carrier, steward dan stewardess menjadi flight attendant, salesman menjadi salesperson atau sales representative.

He, She, Dia

Di dalam khazanah BI, masalah jantina tidak sering mencuat karena kata sapaan dalam BI kebanyakan bersifat netral. Simaklah kalimat:

"Dialah wartawan yang memenangkan penghargaan Adinegoro tahun ini".

Kalimat itu tidak mudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris jika sebelumnya si penerjemah tidak mengetahui jantina si wartawan. Terjemahannya akan begini:

"He/She is the journalist who won the Adinegoro award this year".

Penutur bahasa Inggris juga pernah mempersoalkan sebutan untuk Tuhan, yang di dalam BI tidak menimbulkan masalah karena kita menyebut-Nya sebagai Dia – tanpa perlu menunjukkan jantina. Dalam bahasa Inggris, sebagai pihak ketiga, Tuhan disebut He, yang mengundang pertanyaan – mengapa He, bukan She?

Lalu, Anda mungkin bertanya: "Kalau begitu, apakah BI lebih kaya daripada bahasa Inggris?" Pertanyaan yang sebetulnya tidak penting karena bahasa tidak usah diperbandingkan kaya-miskinnya, melainkan mampukah penggunanya memanfaatkan bahasa tersebut untuk mengungkapkan dengan cermat gagasan mereka.

(Berita Buku, Juni 1996)

No comments:

Post a Comment