Sunday, April 17, 2005

Dirgahayu Republik Indonesia: Bahasa Menunjukkan Bangsa (Wisata Kata)

Kita cenderung takut mencipta kata. Akibatnya, istilah asing terus membanjiri bahasa Indonesia, dan KBBI pun semakin tebal dengan kata serapan. Sebagian orang menerimanya dengan lapang dada dan mengatakan bahwa hal ini tak dapat dihindari dalam era globalisasi dan keterbukaan. Sebagian lagi memprihatinkannya karena ini menunjukkan kita mau mudahnya saja dan enggan menggali kekayaan kosakata kita sendiri. Padahal, orang bijak mengatakan: "Bahasa menunjukkan bangsa".

Peristiwa diciptakannya istilah asut dan googol mungkin bisa membuka mata kita bahwa tidak ada salahnya mencipta kata baru. Kata asut diciptakan oleh Prof. TM Soelaeman, guru besar elektroteknik dari ITB, yang diartikan sebagai "menghidupkan mesin". Kabarnya kata itu diciptakan tatkala beliau tengah memikirkan kata yang tepat untuk menjelaskan kepada mahasiswanya tentang proses menghidupkan mesin. Kata gado-gado Indonesia-Inggrisnya memang sudah sering digunakan, yaitu menstarter. Tetapi, Prof. Soelaeman ingin menggunakan kata Indonesia. Yang terpikirkan adalah kata hasut yang berarti "mempengaruhi orang agar mulai mengerjakan sesuatu". Beliau memungut kata tersebut, membuang huruf h-nya, sehingga terciptalah kata asut tadi. Sekarang, meskipun belum masuk KBBI, di dunia keteknikan, kata tersebut semakin populer. Memang, mengasut mobil seakan-akan menyuruh mesin mobil untuk mulai bekerja.

Kata googol mempunyai riwayat yang lebih unik lagi. Sudah lama para matematikawan merasakan betapa praktisnya menggunakan kata atau istilah tertentu untuk menamai bilangan besar. Bayangkan seandainya kita tidak mengenal kata triliun, alih-alih menuliskan 1,3 triliun (kredit macet Eddy Tansil di Bank Bapindo), kita terpaksa menuliskan 1.300.000.000.000.

Dikisahkan bahwa pada tahun 1930-an, Profesor Edward Kasner (1878–1955), seorang matematikawan Amerika, sedang menangani sebuah bilangan 10 pangkat 100. Dia merasa perlu menamai bilangan tersebut. Secara iseng, dia bertanya kepada keponakannya yang berusia sembilan tahun, Milton Sirrota, nama apa yang cocok untuk bilangan besar itu. Sang profesor berjanji akan menggunakan nama itu, betapapun anehnya. Milton pun asal menjawab: "Googol!" Untuk memenuhi janjinya, nama yang aneh itu pun digunakan Prof. Kasner, dan sekarang googol sering digunakan di dunia matematika.

Tikalas dan tikatas

Anda tentu kenal istilah superskrip dan subskrip, yaitu huruf atau angka yang dituliskan agak di atas dan agak di bawah. Contoh superskrip adalah angka 2 pada 102, dan contoh subskrip adalah angka 2 pada H2O. Tidak jarang kita lupa mana yang superskrip dan mana yang subskrip, yang di atas atau yang di bawah. Memang kedua kata itu kata serapan dari superscript dan subscript, kata yang bukan milik kita. Tetapi, jika dikatakan "atas" dan "bawah", pasti kita tidak akan keliru lagi. Jadi, mengapa tidak kita pakai saja dua kata ciptaan Adjat Sakri, peminat bahasa dari Penerbit ITB, yaitu tikatas untuk superskrip dan tikalas untuk subskrip?

Penggalan kata "tik" pada kedua kata itu diambil dari kata Kawi tika yang berarti "huruf". Penciptanya ingin memperluas makna tersebut menjadi padanan kata Inggris character, yaitu tidak hanya mencakup huruf, tetapi juga lambang cetak lainnya. Jadi, tikatas adalah karakter yang ditulis di atas, dan tikalas yang ditulis di alas atau di bawah. Mudah diingat, bukan? Sayang, uraian kedua kata ini dalam KBBI kurang tepat karena hanya tertulis "tika atas". Sementara itu, kata tika yang bermakna "huruf" sebagai sumber terciptanya kata baru tersebut tidak tercantum.

Manuscript, typescript, discript ...

Penerbit dan pengarang tentu mengenal kata manuskrip, kata lain untuk naskah. Kata manuskrip sendiri adalah serapan dari kata Inggris manuscript, tentu saja berarti "tulisan tangan" dari kata Latin manus yang berarti "tangan" dan scriptus yang berarti "tertulis". Selanjutnya, setelah mesin tik ditemukan, pengarang beralih dari penulisan dengan tangan ke mesin tik. Maka, penutur bahasa Inggris menamai naskah yang diketik itu dengan typescript – kata kerja to type berarti "mengetik". Kita di Indonesia tetap saja menyebutnya naskah, baik ditulis tangan maupun diketik.

Sekarang, dengan ditemukannya komputer, dan naskah diserahkan dalam bentuk disket oleh pengarang kepada penerbit, apa nama naskah semacam itu? Secara analogi tampaknya bisa disebut diskscript. Tetapi, saya belum menemukan istilah ini dalam berbagai kamus yang biasa saya gunakan. Yang ada hanya hard copy untuk menyatakan naskah yang diserahkan berupa hasil cetakan komputer. Adjat Sakri mempopulerkan istilah nasket untuk naskah yang diserahkan dalam bentuk disket. Bagaimana menurut Anda?

Sinambung, kinerja, linarut, tinambah

Kaidah awalan, akhiran, dan sisipan dalam bahasa Indonesia sebetulnya merupakan kekayaan yang masih belum banyak dimanfaatkan untuk membentuk kata atau istilah baru. Padahal, dengan memanfaatkan kekayaan yang unik ini, kita dapat sangat hemat dalam berbahasa. Misalnya, alih-alih "melakukan pengejaran terhadap penjahat", wartawan bisa memendekkan frase itu menjadi "mengejar penjahat". Terjemahan dialog sinetron di TV seperti "... kecantikannya tidak dapat diuraikan dengan kata-kata" b isa dipersingkat dan dibaca lebih cepat bila dituliskan "... kecantikannya tak terkatakan".

Nah, bagaimana dengan keempat kata yang menjadi judul pasal ini? Kata sinambung tentu sudah Anda kenal, bahkan mungkin sering Anda gunakan. Mudah diduga bahwa kata asalnya adalah "sambung", diberi sisipan -in-. Kata kinerja mungkin baru Anda kenal lewat media massa atau buku terjemahan. Diperkirakan kata ini semakin berterima di masyarakat dengan semakin seringnya muncul di media massa. Asal katanya tentu saja "kerja", diberi sisipan -in-. Setahu saya, kata ini diciptakan oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup ITB (PPLH-ITB) sebagai padanan kata performance. Saingan istilah baru ini adalah unjuk kerja dan perikerja. Mana yang akan terus hidup tentu saja sangat bergantung pada pemasyarakatannya, baik melalui media massa maupun tulisan ilmiah.

Bagaimana dengan kata linarut dan tinambah? Mungkin hanya kalangan ilmuwanlah yang sudah mengenalnya. Kedua istilah ini diciptakan Prof. Kosasih Padmawinata, penerjemah produktif dari Jurusan Farmasi ITB. Linarut digunakannya sebagai padanan istilah Inggris solute yang sebelumnya sering diterjemahkan menjadi zat terlarut. Prof. Kosasih menganggap istilah yang terdiri atas dua patah kata itu terlalu panjang. Maka, diciptakannyalah kata linarut yang berasal dari kata "larut" dengan sisipan -in-. Istilah tinambah juga diciptakan dari kebutuhan sang profesor ketika menerjemahkan istilah Inggris additives, yaitu zat yang ditambahkan ke dalam sesuatu, misalnya food additives. Alih-alih menggunakan "zat tambahan", Prof. Kosasih memperkenalkan istilah tinambah yang tampaknya juga semakin berterima di dunia yang ditekuninya, dunia kimia farmasi.

Manfaatkan bubuhan

Secara keseluruhan, awalan, akhiran, dan sisipan dinamakan "imbuhan". Bagi orang awam, dan saya termasuk di dalamnya, istilah awalan dan akhiran memang lebih cepat dipahami daripada kata serapannya, afiks dan sufiks, yang digunakan para ahli linguistik. Contoh awalan adalah me-, ber-, pe-, dan di-; contoh akhiran adalah -an, -kan, -lah, dan -kah; dan contoh sisipan adalah -in-, -el-, dan -em-.

Bagaimana dengan awalan semacam maha-, tuna-, mala-, pasca-, pra-, nir-, dan lir-? Ada yang menamakannya "bubuhan", untuk membedakannya dari "imbuhan". Bubuhan semakin disukai untuk menciptakan istilah baru yang keperluannya terasa semakin mendesak. Dalam bidang ekonomi, misalnya, semakin populer istilah nirlaba, padanan istilah Inggris nonprofit. Ada pula istilah baja nirkarat, padanan stainless steel. Bubuhan nir- memang menyatakan negatif atau tidak ada. Maka, sungguh tepatlah bila penerjemah dari IPB menggunakan istilah semangka nirbiji, meskipun pedagang semangka di tepi jalan lebih kenal istilah semangka nonbiji. Mahasiswa Program D-3 Editing, Unpad menciptakan istilah kain nirjahit sebagai padanan kain ihrom -- istilah yang sungguh tepat, dipandang dari wujud fisik kain tersebut.

Masih banyak istilah ciptaan baru lainnya: Dr. Soegito Wonodirekso dari FKUI menciptakan istilah laiksantap untuk padanan edible, dan Dr. Diah Lukman dari IPB menggunakan istilah liragar untuk padanan jellylike. Para pelukis menciptakan istilah mahakarya dan adikarya untuk padanan masterpiece, sedangkan perancang busana menciptakan istilah adibusana untuk haute couture atau high fashion. Anda dapat terus memperpanjang daftar ini dengan istilah ciptaan Anda, tentu saja dengan memperhatikan Pedoman Pembentukan Istilah dari Pusat Bahasa. Ya, mengapa tidak?

Penutup

Diam-diam ternyata peristilahan bahasa Indonesia di kalangan ilmuwan dan kalangan terbatas lainnya terus berkembang. Aneka istilah baru terus bermunculan -- ada yang megap-megap bertahan hidup karena kurang disukai (mangkus, sangkil), tetapi banyak pula yang terus memasyarakat (nirlaba, kinerja), atau mulai merangkak tumbuh (linarut, liragar).

Sebagai pengguna bahasa dan pencinta buku, kita perlu menyimak perkembangan ini agar kosakata kita juga terus bertambah. Tetapi, biasanya, kita enggan kaya kosakata, tidak seperti kaya harta. Kita bukannya membuka kamus bila menemukan kata Indonesia "baru", melainkan menggerutu. Sungguh berbeda dengan sikap kita saat menjumpai kata asing yang tidak kita kenal -- dengan senang hati kita mencarinya dalam kamus. Mudah-mudahan sikap menganaktirikan bahasa sendiri seperti ini tidak dianut pembaca Berita Buku, yang dapat dipastikan pencinta buku, sekaligus pencinta bahasa nasional. Mudah-mudahan pula Anda berpendapat Wisata Kata kali ini laikbaca, tidak membingungkan. Dirgahayu Republik Indonesia tercinta!


Berita Buku, Agustus 1996

1 comment:

  1. setuju bu. Saya sedang berdoa bagi imbuhan "nir" untuk sebuah kalimat. Semoga saja bisa digunakan ^__^

    ReplyDelete